
Cyber University Kembali jadi Sorotan di Indonesia Enterprise Risk Management Award VII
Republika.co.id, Jakarta – Pada suatu waktu, penuh dengan diskusi hangat dan wawasan yang tajam, Gunawan Witjaktono, Universitas Cyber Chanceler, menjadi pembicara utama dalam Penghargaan Manajemen Perusahaan Indonesia 2025 dengan tema utama dan risiko mitigasi perusahaan, Kebome, risiko misting pada 2025 (16/102). Kali ini membawa objek yang sangat relevan, Cyber -Risk, ancaman yang semakin menyebar di tengah -tengah percepatan transformasi digital.
Dalam presentasinya, Gunavan menekankan pengaruh serangan dunia maya terhadap bisnis dan dipertimbangkan atau tidak, ancaman itu bukan hanya masalah teknis, tetapi dapat memaksa perusahaan untuk mati lemas dengan risiko besar yang menunggu sudut digital.
1. Kerugian finansial
Gunavan menjelaskan bahwa kejahatan data yang terkait dengan peretas tidak hanya beberapa surat elektronik dari karyawan tersebut. Ini adalah masalah kerugian finansial yang sangat besar. Ketika perusahaan harus menutup sistem dari pemerasan, ia kehilangan pendapatan, ia harus jatuh ke dalam biaya pemulihan yang mahal, dan bisnis dapat dihentikan sepenuhnya.
“Rata -rata, kejahatan yang terkait dengan data pada tahun 2023 menyebabkan kerugian hingga 2,4 juta dolar AS per insiden. Bayangkan pengaruh pada perusahaan kecil dengan sumber daya terbatas,” katanya.
2. Kerusakan reputasi
Pemotongan data dapat memengaruhi kepercayaan pelanggan. Segera setelah data mengalir, reputasi perusahaan mungkin jatuh. Hilangnya pelanggan dari reputasi otoritatif bisa jauh lebih mahal daripada biaya pemulihan teknis.
Gunavan berkata: “Di era kepercayaan digital, reputasi adalah mata uang. Setelah kerusakan, perbaikan diperlukan untuk perbaikan, bahkan jika itu dapat kembali ke kehidupan normal.”
3. Tanggung Jawab Hukum
Selain kerusakan pada keuangan dan nama baik, serangan cyber juga dapat membuat perusahaan bertemu dengan pengadilan. Kurangnya kepatuhan terhadap aturan kerahasiaan atau standar keamanan data dapat menyebabkan denda yang besar. Dia mengingatkan Gunavan bahwa aturan seperti GDPR di Eropa dan undang -undang serupa di Indonesia akan terus berkembang, dan kejahatan dapat berarti masalah hukum yang serius.
Dia menekankan bahwa pemahaman tentang risiko ini adalah langkah pertama, tetapi pengembangan strategi pertahanan yang efektif tidak kalah penting dari pelatihan pekerja ke teknologi terbaru, seperti firewall dan sistem deteksi ancaman. Berkat kesadaran dan pelunakan terbaik yang terbaik, perusahaan dapat lebih tahan terhadap masalah digital yang semakin kompleks.
Dengan bantuan presentasi yang kuat ini, Cyber -Gurgency kembali menunjukkan kepemimpinannya dalam pembentukan bakat digital Indonesia, menjadikan dirinya sebagai Universitas Universitas Fintech pertama di Indonesia, yang siap menyelesaikan masalah masa depan. Pertanyaannya menggantung di udara, seberapa siap kita siap untuk gelombang ancaman berikutnya di Samudra Cyber?